Om Ridof didaulat sebagai marshal dibantu om Boni sebagai RC dan om Aziz sebagai sweeper. Nama-nama kondang di dunia pergowesan yang tentunya menjadi jaminan akan kolaborasi ciamik dalam merencanakan dan meramu trek yang akan kami lalui. Jaminan mutulah pokoknya.
Tikum di depan musholla An-Nur Plaza Niaga 1, Sentul. Sekitar jam 8 semua peserta sejumlah 17 pesepeda berkumpul dengan tunggangan masing-masing. Om Adhany memberikan sepatah dua patah kata sambutan lalu dioper kepada om Ridof untuk memberikan gambaran singkat trek yang akan kami lalui. Dari penjelasannya, kami akan melahap trek yang menyajikan beberapa tanjakan istimewa untuk kemudian menikmati turunan nikmat. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Sedaaap...
Tapi khusus untuk om Agus mungkin berlaku sebaliknya. Hehe…
Tepat jam 7 lewat 25 menit kami bergerak beriringan dipandu om Ridof
dengan tunggangannya yang antik, klasik namun berkelas. Sepeda touring
bermerk Heavy Tools asal Austria yang konon hanya ada 5 buah yang
terdeteksi di Indonesia. Hmmm… kami jadi penasaran ingin melihat
ketangguhan sepeda bangkotan tapi berotot itu. Keluar dari komplek ruko,
kami menyeberang jalan lalu meluncur mengular menuju ke arah kawasan
Sentul Nirwana. Jalan on-road aspal mulus yang tidak terlalu mancung
namun menanjak panjang sekitar 5 km cukup menjadi sarapan special yang
menguras keringat sebelum sajian utama trek sesungguhnya.
Kami lalu singgah untuk sarapan dan mengisi perbekalan di dekat Pondok Pesantren Fajrussalam, Karang Tengah Babakan Madang, Bogor sebelum mulai blusukan. Sebagian besar menyantap nasi uduk si Embah, sebagian lainnya ke warteg dan warung padang. Di sini om Hariadi yang baru kali pertama ikut gobar MAG menarik perhatian semua peserta. Saat perhitungan bayaran nasi uduk, dengan malu-malu dia menyebutkan, “Satu nasi uduk, lima telur dan sembilan jeruk!” Pertanyaan diulang beberapa kali untuk meyakinkan bahwa ia tidak salah sebut angka, dan ternyata memang benar begitulah adanya. Mengagumkan ...! Sungguh angka yang fantastis dan luar biasa untuk ukuran manusia biasa, hahaha ....
Setelah sarapan dan semua peserta menyiapkan perbekalan masing-masing, kayuhan sepeda kami berlanjut tetap di trek aspal yang berlubang, bopeng di sana sini. Jalan ini lebih mancung dan membuat nafas ngos-ngosan, timbul tenggelam. Di sini om Hariyadi menjadi yang terdepan diikuti oleh om Dedi Yuliafsah, om Agus, Saya sendiri dan om Parkoso sementara yang lain mengekor di belakang. Saya sempat mendengar om Hariady berteriak kegirangan kemudian memacu tunggangannya lebih cepat melihat jalan yang menanjak. Hmmm… jelas sudah ia mengikuti mazhab siapa.
Saya, om Agus dan om Oco memutuskan untuk beristirahat setelah tanjakan ketiga sekaligus menunggu yang lain. Sementara om Hariyadi dan om Dedi Yuliafsah terus melahap tanjakan berikutnya. Sepertinya 5 telor dan 9 jeruk betul-betul menjadi doping yang mumpuni. Catet!
Selang beberapa menit kami istirahat, tiba-tiba om Hariyadi dan om Dedy turun dari arah tanjakan dan memberi kabar jika kami salah jalan. Uppss! Pantesan sejak tadi peserta lain tak ada yang muncul. Pelajaran nih, jangan pernah mendahului marshal dan jangan ikuti pecinta tanjakan di tanjakan. Sudah maksain nanjak, ternyata salah jalan, sakitnya tuh sampe di hati. Pfiuuuh ….
Kami pun berbalik arah dan menjumpai yang lain sedang menunggu di sisi kanan jalan. Rupanya kami harus berbelok ke kiri menyeberang jembatan sungai kecil lalu menanjak masuk ke area perkampungan penduduk di sekitaran kaki gunung dengan jalan setapak beton yang lumayan licin karena penuh debu. Tanjakan selepas jembatan ini lumayan tinggi namun bagi para master dan monster tanjakan semisal om Ridof, om Dedi Yuliafsah, Om Dedi Arianto, om Hariyadi, om Agus, om Boni, om Aziz, tidaklah masalah. Mungkin mereka hanya menganggapnya sebagai polisi tidur yang dengan mudah dapat dilewati.
Selepas tanjakan itu, hamparan padi hijau di lereng bukit yang membentuk terasering memanjakan mata. Pemandangan yang tidak akan kami temukan di Jakarta. Pandangan yang mampu membayar rasa lelah dan dan keringat yang yang telah hilang. Di sini kami berhenti sejenak sambil pepotoan. Setelah lelah berangsur hilang, kami lanjut menyusuri jalan di antara rumah-rumah penduduk.
Sekitar pukul sembilan seperempat kami tiba di loket sebelum masuk hutan menuju goa Garunggang. Seorang Ibu dan laki-laki yang mengaku bernama Jono meminta agar ‘uang masuk’ sejumlah lima belas ribu per orang dibayarkan pada mereka. Mang Jono berpesan bahwa pembayaran itu sudah all-in, dan jadi jika ada yang minta bayaran lagi supaya diberitahu bahwa kami sudah membayar di mang Jono. Setelah menyelesaikan administrasi tanpa bukti tiket pembayaran, kami pun melanjutkan perjalanan blusukan masuk hutan di kaki bukit.
Sebuah jembatan bambu mengantarkan kami pada tanjakan berkelok yang amat tinggi dan panjang. Di depan sana om Ridof, om Aziz dan om Agus sudah lebih dulu memacu sepeda menantang kesombongan tanjakan itu. Saya sendiri tidak melihat keberhasilan mereka menaklukkannya karena terus menunduk konsentrasi mengatur nafas dan tenaga untuk setiap kayuhan yang teramat berat. Setelah tanya-tanya, salah satu yang berhasil melenggang kangkung di tanjakan ini adalah om Aziz. Hmmm… tidak heran.
Untuk mencapai goa Garunggang kami ternyata masih harus melewati sekitar dua tanjakan seru lainnya. Hingga saat memasuki kawasan goa Garunggang, sebuah turunan asoy menjadi penghibur kelelahan. Dan kami betul-betul melupakan lelah yang sedari tadi menggelayut ketika melihat hamparan situs batu besar-besar yang berbaris rapi membentuk labirin, lorong-lorong yang kami bisa lalui. Beberapa peserta kemudian mengeluarkan kamera untuk jeprat-jepret selfie dan foto keluarga. Ciiisss…!
Tanpa membuang waktu kami bergerak mencari goa Garunggang. Seorang pemuda desa datang dan menawarkan untuk menjadi guide kami. Mulut goanya berbentuk vertikal sedalam 4 meteran dan hanya bisa dilalui satu orang. Kami bergantian masuk menuruni tangga bambu yang telah disiapkan.
Di dalam goa terdapat ruang yang luas dengan dinding yang menjulang tinggi membentuk kubah. Di atas sana ratusan kelelawar-kelelawar bergantungan tanpa suara. Bau kotoran kelelawar yang mengendap di sekitar pijakan kami menjadi ‘pengharum ‘ alami dalam goa. Semriwinnnnnggg ….
Beberapa stalagmit dan stalagtit menambah kesan eksotis perjalanan lebih jauh ke dalam goa. Di dasar goa terdapat sungai kecil yang mengalir pelan dari rembesan tetesan air dari dinding-dinding goa. Saya sempat melihat seekor udang mungil berlarian sungai kecil itu. Setelah masuk sekitar lima belas meter, akses goa semakin kecil dan hanya bisa dilalui dengan cara merayap, yang berarti harus basah-basahan. Kami pun memutuskan untuk balik dan mengakhiri ekplorasi dalam goa. Walau tidak seperti situs batu Stonehenge yang terkenal di Inggris sana, namun goa garunggang dengan situs batunya begitu memesona.
Rupanya tidak semua goweser turun ke goa, beberapa orang nongkrong di warung kecil dan sebagian lagi tiduran di sebuah bale-bale dari bambu. Sepertinya recharge energy lebih menarik bagi mereka dibandingkan masuk goa yang gelap.
Saat semua bersiap-siap untuk melanjutkan gowes eksplorasi ke bukit Wangun, pemandu wisata dan seorang pemuda lain meminta bayaran lima belas ribu per orang. Kami menjelaskan jika pembayaran sudah diberikan kepada mang Jono di loket. Tapi mereka mengatakan bahwa seharusnya pembayaran dilakukan di sini dan mereka pun mengaku tidak kenal dengan mang Jono. Suasana menjadi sedikit panas dan berbantahan pun tidak terelakkan. Untungnya insting om Hariyadi tajam. Dia berinisiatif memotret mang Jono saat penyerahan iuran masuk di loket tadi. Dan ternyata foto itu benar-benar menjadi solusi. Setelah diperlihatkan foto mang Jono, si guide tadi ternyata mengenalnya, tapi bukan sebagai mang Jono, melainkan Ujang.
Hhhmmm… sepertinya kami mencium aroma konspirasi dan persekongkolan di antara mereka. Kami kemudian menasehati mereka agar menjadi orang yang jujur dan terbuka agar tidak terkesan ‘nembak’ pelancong yang datang dengan meminta duit macam-macam.
Dengan sedikit rasa kesal, kami pun segera meninggalkan area goa Garunggang menuju trek yang-dijanjikan. Trek yang dinanti-nanti. Gowes merosot panjang sambil eksplorasi bukit Wangun. Jeng ... jeng ... jeng ….
Tapi ternyata eh ternyata. Kebahagiaan itu harus tertunda. Masih ada beberapa tanjakan lagi yang harus kami taklukkan untuk menuju bukit Wangun. Melalui tanjakan panjang dengan terik panas matahari menjelang pukul 11 terasa menyengat dan menguras keringat. Jalan tanah coklat berdebu dengan pohon-pohon meranggas serta rerumputan yang menguning sepanjang jalan menambah kesan kering kerontang. Inilah jawaban kenapa om Boni mewanti-wanti kami untuk membawa air minum sebanyak mungkin.
Untunglah peserta gowes kali ini adalah lelaki-lelaki tangguh. Panas dan beratnya tanjakan tidak menghilangkan senyuman dan candaan kami. Apalagi om Ridof sang marshal ternyata tipe orang yang suka menghibur (tapi bukan lelaki penghibur ya). Jadinya walau berat, kami tetap semangat. Walau panas, kami tetap trengginas. Lanjuuuuttt ...!
Tak terhitung berapa tanjakan yang telah kami tundukkan hingga kami akhirnya mencapai puncak bukit Wangun lalu memutuskan untuk istirahat sekaligus membongkar ransum makan siang. Kalau peserta gobar lain membeli makan siang dari warung, lain halnya dengan om Ridof, ia membawa masakan dari sang istri tercinta. Sungguh istimewaaa …!
Sesuai rencana, setelah makan siang adalah saat untuk sesi tausiah. Tapi karena ustadz-ustadz pada berhalangan ikut, jadinya hanya sesi chit-chat sesama anggota. Setelah ngobrol panjang lebar tiba-tiba ada peserta gobar yang bertanya kepada saya tentang kelompok Islam Jamaah. Sayapun kemudian menjawab seperlunya. Tapi ternyata beberapa peserta gowes lain meminta saya bercerita lebih banyak tentang IJ. Mungkin mereka tahu kalau sejak lahir hingga rambut ubanan, saya adalah penganut ajaran IJ, bahkan termasuk muballigh/ustadz IJ. Alhasil, saya pun bercerita panjang lebar, berawal saat saya kuliah di Universitas Muhammadiyah yang telah membuka wawasan saya tentang Islam, hingga ketika akhirnya saya memutuskan keluar setelah menyadari penyimpangan doktrin-dontrin IJ yang telah dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Untuk detail ceritanya mungkin di tulisan lain. Hehe…
Setelah perut kenyang dan lelah telah hilang, kami meneruskan petualangan gowes yang diharapkan menjadi klimaks gobar ini. Sepeda-sepeda kami berbaris rapi melaju cepat di antara ilalang lebat di kiri dan kanan. Perosotan single trek panjang yang membelah hutan bukit Wangun dengan rute yang meliuk-liuk, geal-geol menambah sensasi nikmat. Sesekali kami harus berhenti di ujung perosotan untuk mengabadikannya momen keberhasilan goweser lain yang sukses melibas tanpa nyosor, sambil bersorak bersama memberi semangat. Josss ...!
Sungguh turunan panjang dengan elevasi 513 hingga 284 yang disajikan kaki bukit Wangun memberi sensasi nikmat memikat. Apalagi endingnya adalah turunan ‘tamiya’ yang tajam dengan variasi kelokan 90 derajat dan liukan setengah lingkaran di antara kebun singkong. Tak satupun peserta gobar yang tidak TTB di marih karena jalan yang seperti dicoaki (mirip jalan air) serta licin berdebu dan menunduk ekstrim. Sadisss…!
Puncak klimaks dari perjalanan panjang kami berakhir di tepian sungai yang mengalir jernih namun agak surut karena kemarau panjang. Kami pun beristirahat di tepian sungai sambil bermain air, cuci-cuci dan shalat dzuhur. Setelah semua peserta telah berkumpul dan puas bermain air, kami melanjutkan perjalanan pulang menuju titik start dengan perasaan puas. Alhamdulillaah ….
Demikian reportase gobar MAG ke Goa Garunggang dan Bukit Wangun kami tuliskan.
Segenap pengurus dan anggota MAG mengucapkan terimakasih kepada seluruh sobat dan sahabat MAG yang ikut meramaikan acara ini.
Terkhusus kami ucapkan jazakaloahu khoiron kepada om Ridof yang dengan ikhlas dan sabar mengangoni seluruh peserta gobar serta om Boni dan om Aziz, Divisi Gowes MAG yang telah meramu trek memikat ini.
Sampai jumpa di event MAG berikutnya.
Jabat erat.
Wassalamu alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
wah keceh mas petualangannya mantap.....
ReplyDeleteTerimakasih om sudah mampir :)
DeleteWuihhhh seruu...Om tolong panduan treknya krn minggu ini kita mo kesana,terutama jalur stlh garunggang itu kmn lg arahnya ? Krn ada jalur lain yg mengarah ke tajur citereup. Thnx
ReplyDeleteBismillah,
ReplyDeleteAda grup wa nya ndak om ?